Kamis, 15 Maret 2012

Yaqo Wiyu Tradisi Sebar Apem

YAQOWIYU atau populer dengan upacara sebar apem oleh warga Jatinom, Klaten adalah tradisi temurun yang diupayakan tetap lestari guna menjaga indahnya manikam keluhuran  budaya, yaitu peduli sesama lewat berbagi.

Kalau masyarakat Yogyakarta dan Surakarta bangga dengan tradisi Sekaten sebagai hajatan tahunan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW yang jatuh bulan Rabiulawal dalam kalender Islam, masyarakat Klaten, khususnya Jatinom boleh bangga karena memiliki tradisi budaya yang tak kalah moncer yaitu Yaqowiyu atau sebar apem atau juga disebut tradisi Saparan.  

Setiap bulan Sapar perayaan ini digelar. Yaqowiyu dimaksudkan untuk mengenang dan melestarikan nilai luhur  ajaran seorang Ki Ageng Gribig, ulama besar yang berjasa dalam mengembangkan Islam di Klaten. Dia begitu peduli dan sayang dengan warganya. 

Kepedulian itu diwujudkan berbagi dengan sesama. Nilai berbagi itu oleh  masyarakat Jatinom  dilestarikan dengan membuat kue apem, lalu dibagi-bagikan kepada setiap pengunjung yang datang dalam perayaan Yaqowiyu yang puncaknya tahun ini digelar akhir Januari lalu. 

Puluhan gunungan kue apem diarak dan diiring menyusuri jalan utama kota kecamatan menuju tanah lapang di samping Masjid Besar Jatinom. Prosesi biasanya diawali dengan pelepasan gunungan apem oleh bupati disaksikan masyarakat di aula kantor Kecamatan Jatinom. 
Sepanjang jalan masyarakat berjejal. 

Ribuan orang menyemut di sepanjang jalan yang dilalui iring-iringan gunungan apem dan puncaknya dibagi dengan cara disebar di atas anjang-anjang menara oleh pejabat muspida dan ulama kepada pengunjung yang berjejal menunggu.  

Tradisi Yaqowiyu diakui mempunyai daya magnet berbeda.  Selain agenda tahunan yang ditunggu-tunggu dan sarana penggerak roda perekonomian selayaknya tradisi Yaqowiyu dikemas sebagai ajang promosi wisata daerah. 

Peluang itu begitu terbuka. Ribu orang berkumpul, baik penduduk setempat maupun dari luar kota. Ratusan potensi ekonomi rakyat dari pedagang, perajin, dan pengusaha dapat berinteraksi dengan konsumennya serta lapangan kerja yang tercipta walau sesaat.  

Bak gadis cantik yang bersolek, momentum perayaan Yaqowiyu terlalu sayang jika dilewatkan. Pemerintah dapat mempromosikan potensi wisata Klaten tidak sebatas tradisi tersebut. Pemerintah dapat membangun kecintaan dan kebanggaan daerah dengan memperkenalkan lebih dekat kepada masyarakat tentang dunia wisata Klaten yang tak kalah mentereng.  

Water boom di Umbul Ngingas, desa kuliner di Janti dan warung apung di Pesona Rowo Jombor, panorama eksotik Sendang Srinongko, wisata alam Gunung Merapi, atau situs-situs candi perlu didorong ke permukaan.  

Promo ini tentunya tidak harus meninggalkan bukti-bukti historis peninggalan Islam yang nyaris terlupakan sebagaimana situs peninggalan Ki Ageng Gribig di Jatinom itu sendiri.

Penyebaran Islam di Klaten dan Jatinom khususnya tidak lepas dari tokoh sejarah Ki Ageng Gribig. Tokoh legendaris Islam yang bernama lain Syech Wasibagno ini adalah murid Sunan Kudus dari keturunan Raja Brawijaya V yang lahir di Tuban, Jawa Timur, pada abad 17 Masehi.  

Semasa Sultan Agung Mataram, atas jasanya menumpas pemberontakan Bupati Palembang, Ki Ageng Gribig dinikahkan dengan adik Sultan bernama Raden Ayu Emas Winongan serta dianugerahi tanah perdikan yang nantinya menjadi cikal bakal Jatinom. 


foto: kerumunan orang merebutkan apem yang akan di sebar

Di tempat itu dia mendirikan Masjid Jatinom, pondok pesantren, pasar dan alun-alun yang sampai saat ini masih lestari berikut surau kecil sebagai tonggak perjuangan dakwah penyebaran Islam. 

Berbagai peninggalan monumental sejarah dapat dikenali hingga sekarang.   Peninggalan tersebut adalah Masjid Petilasan, Gua Belan, Masjid Besar Jatinom, makam Ki Ageng Gribig, dan tradisi Yaqowiyu sebagai warisan budaya yang adiluhung.

Tradisi Yaqowiyu yang berarti doa, sejatinya mengandung nilai keluhuran yang bijak digali dan dilestari generasi saat ini. Menurut sumber sejarah, sepulang ibadah haji Ki Ageng Gribig membawa oleh-oleh berupa dua buah roti.  

Berhubung keluarganya banyak maka Ki Ageng Gribig memerintah istrinya, Raden Ayu Emas Winongan untuk memasukkan kue tadi dalam adonan jladeran yang berasal dari tepung beras tumpuk yang dimasak.   

Kue itu kemudian sampai sekarang dikenal dengan apem yang konon berasal dari bahasa Arab yaitu affan yang berarti ampunan. Apem ini oleh Ki Ageng Gribig lalu dibagi-bagikan kepada keluarga, tetangga, dan fakir miskin di sekitarnya.  Sejak bulan Sapar 1637 Masehi, setiap tahun tradisi ini lalu dilestarikan sampai sekarang.  

Tradisi itu sejatinya bermakna simbolik. Sebar apem adalah nilai keteladanan untuk peduli dan berbagi. Inilah manikam itu. Sebuah nilai keluhuran sikap yang harus dijaga dari seorang Ki Ageng Gribig.  Dengan saling peduli hidup menjadi berkah.  Dengan saling memberi hidup menjadi rahmah. (10) 

0 komentar:

Posting Komentar

 

KLA - X Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger